Masjid Agung Demak: Monumen Wali Songo

masjid agung demak

Sebagai saksi sejarah peninggalan Wali Songo, Masjid Agung Demak ini menjadi daya tarik turis, lokal maupun mancanegara. Di halamannya terdapat makam sejumlah syuhada, yang menjadi mata rantai wisata ziarah.

Masjid Agung Demak adalah salah satu bangunan yang penting di Asia Tenggara dan di dunia Islam. Itulah kesimpulan yang ditarik para ahli Komisi Internasional bagi Pemeliharaan Warisan Budaya Islam dari Organisasi Konferensi Islam (OKI), setelah meninjau masjid tersebut pada awal 1984.

Masjid ini merupakan warisan Wali Songo kepada masyarakat Islam di Demak. Di masjid inilah Wali Songo beribadah, mengajarkan dan membahas semua ajaran Islam, seperti iman, aqidah, syariat, dan ibadah.

Arsitektur masjid dapat dikatakan unik. Dinding bangunan induknya bersegi empat dan memiliki lima pintu dan enam jendela. Atapnya bertingkat tiga, disangga empat tiang utama, yang konon merupakan sumbangan Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati. Boleh jadi, itu dapat dianggap sebagai simbol bahwa Wali Songo, yang hidup antara tahun 1400 hingga 1500, telah berpegang pada empat madzhab: mengikuti paham para imam madzhab, yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi.

Ukuran masjid ini lumayan luas. Luas bagian dalamnya 24 x 24 m2, ketebalan dinding tembok keliling 80 cm, ketinggian mustaka (bagian puncak masjid) 21,65 m, lebar rata-rata emperan keliling 2,80 m, dan luas mihrab 146 x 268 cm. Luas serambi masjid 17,50 x 29 m2, dengan ketinggian 7,63 m. Hampir semua bahan bangunan masjid terbuat dari kayu jati, seperti kerangka konstruksi, balok loteng, geladak, dan tiang utama.

Menara untuk adzan, yang dibangun tahun 1932, tingginya 22 m dan terbuat dari konstruksi baja. Karena usianya telah lebih dari 50 tahun, masih utuh, dan masih dapat digunakan, menara tersebut termasuk kategori benda cagar budaya yang dilindungi UU No. 5 Tahun 1992 dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993.

Di dalam areal Masjid Agung Demak, yang luasnya 1,5 hektare, juga terdapat gedung LPI (Lembaga Pendidikan Islam), gedung kesehatan, perpustakaan, museum, dan makam raja-raja. Di pemakaman raja-raja inilah dapat ditemukan makam Raden Fattah (sultan Demak I), Raden Patiunus (sultan Demak II), Raden Trenggono (sultan Demak III), dan sejumlah makam lainnya dari lingkungan kerajaan.

Di museum ditampung berbagai benda cagar budaya peninggalan sejarah, seni budaya Wali Songo dan Kesultanan Demak. Benda-benda bersejarah tersebut disimpan, dirawat, diamankan, dan dimanfaatkan. Demikian banyaknya benda cagar budaya yang disimpan di dalam museum ini, karena tidak sedikit peninggalan sejarah yang harus dipelihara dengan baik.

Dapat disebut, misalnya, beduk dan kentongan wali abad ke-15, pintu bledheg (halilintar) abad ke-15, guci atau gentong dari abad XIII. Ada juga Al-Quran dan tafsir tulisan tangan sejak zaman Sunan Bonang. Ada lagi bekas sakaguru (tiang utama) wali, prasasti kayu bertulisan Arab dan Jawa, pintu serambi, kaligrafi, silsilah para nabi atau rasul, silsilah para wali, serta sejumlah benda purbakala lainnya.

Nakhoda Muslim Cheng Ho

Semula Masjid Agung Demak, yang dibangun Wali Songo tahun 1466 bersama sejumlah santri, termasuk Raden Fattah, bernama Masjid Glagahwangi, karena berlokasi di tengah Pondok Pesantren Glagahwangi, yang dipimpin Sunan Ampel. Proses pembangunannya, konon, sama dengan membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon: dibangun dan selesai hanya dalam satu malam, yaitu saat bulan purnama, pada Jumat malam Kliwon, bulan Ruwah, tahun Jawa 1388 (1466 tahun Masehi).

Tahun 1475, Raden Fattah menjadi adipati Majapahit dengan gelar Adipati Notoprojo. Tahun itu pula Masjid Glagahwangi direnovasi, diperindah, dan diperluas. Seperti halnya pembangunan tahap pertama, masjid ini juga digarap bersama oleh para wali dan santri, di samping tukang-tukang dari Tiongkok – konon anak buah nakhoda muslim Cheng Ho yang sedang berlabuh di Semarang.

Setelah selesai pembangunan tahap kedua, masjid ini berubah nama menjadi Masjid Kadipaten, karena tanggung jawab masjid berada di tangan Adipati Notoprojo. Peresmian Masjid Kadipaten dilakukan Adipati Notoprojo dua tahun setelah memegang jabatan. Unik memang, jika pembangunan tahap pertama diyakini banyak orang berlangsung hanya satu malam, untuk merenovasinya diperlukan waktu dua tahun (hingga tahun 1477).

Satu tahun setelah pembangunan itu, 1478, Raden Fattah, yang sebelumnya hanya menjabat adipati Majapahit, memerintah sebagai sultan pada kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Pada masa itulah, pembangunan masjid tahap ketiga dimulai. Pembuatan rancang bangunnya dibantu para wali, khususnya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati. –

Pembangunan tersebut dilakukan oleh sebuah Dewan Wali, dipimpin Syaikh Maulana Magribi, seorang ulama yang berasal dari Maroko. Begitu selesai, masjid ini diberi nama Masjid Kesultanan Bintoro, karena Raden Fattah, yang menyandang gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al-Akbar Sayyidin Ponotogomo, berkedudukan di Bintoro. Peresmian masjid ini dilakukan Raden Fattah pada 1479.

Nama Masjid Agung Demak baru digunakan secara resmi belakangan, setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama RI No. 1/1988 yang mulai berlaku 1991.

Sebelum perubahan nama itu, masjid ini sempat dipugar untuk kesembilan kalinya, tahun 1987, oleh Badan Arkeologi Kepurbakalaan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Keempat tiang utama sumbangan empat wali ternyata telah keropos dimakan usia dan dirusak rayap. Setelah dipugar dengan dana yang diperoleh dari Organisasi Konferensi Islam, Banpres, dan APBN, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan masjid tersebut.


Artikel Khazanah lain yang menarik untuk dibaca:


Masjid Agung Demak dapat menampung 5.000 jamaah shalat Jum’at. Pada hari-hari raya, misalnya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, jumlah itu dapat menggelembung menjadi 15.000 sampai 20.000, orang sehingga jamaah meluber ke lapangan di sekitar masjid.

Jumlah pengunjung, atau yang datang untuk berziarah ke masjid ini, setiap hari juga tidak sedikit. Pada hari-hari biasa tak kurang dari 100 orang. Pada hari tertentu, misalnya nulan Maulud, bisa sampai ribuan orang. Mereka berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera, bahkan juga dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan terkadang dari Jepang dan Kanada.

Malah, para biarawati (suster) sedunia yang mengadakan pertemuan di Semarang pernah berkunjung ke masjid ini. Mereka menghormati semua yang dirawat dan dilestarikan di sana.

Dalam mengelola Masjid Agung Demak, pengurus masjid tidak pernah mengalami kesulitan. Untuk mengawetkan batu dan kayu, dibutuhkan bahan-bahan kimia yang harganya mahal. Semua biaya yang dibutuhkan itu, umumnya, diperoleh dari masyarakat. Donatur tetap memang tidak ada, tapi sumbangan senantiasa datang secara insidental dari berbagai kalangan – termasuk dari kalangan non-muslim.

Anda telah membaca artikel tentang "Masjid Agung Demak: Monumen Wali Songo" yang telah dipublikasikan oleh Lentera Budaya. Semoga bermanfaat serta menambah wawasan dan pengetahuan. Terima kasih.

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *