Ketika Dewi Sri Pergi

Ketika Dewi Sri Pergi

Dewi Sri, dewi padi atau dewi pelindung para petani,kini telah hengkang dari negeri ini. Penyebab perginya adalah perilaku manusia itu sendiri. Gempuran peradaban modern mengubah perilaku manusia.

Rasionalitas yang menandai peradaban modern telah merasuk pola pikir dan sikap. Utamanya, pola gerak budaya masyarakat urban yang bekerja atas dasar pertimbangan praktis dan instan telah mengepung desa-desa. Semata-mata yang menjadi prinsip dalam menelurkan kebijakan adalah pertimbangan ekonomis.

Segala hal yang tidak mengandung nilai ekonomi –uang– dikesampingkan. Kearifan dan spiritualitas lokal yang sebelumnya hidup dan diwariskan kini tercerabut. Tidak heran kalau sekarang lahan pertanian semakin sempit.Para petani dan seluruh tatanan sosialnya ambruk. Lihat saja, orang tidak merasa malu lagi ketika berbuat salah.

Mitos-mitos yang mengandung pesan kearifan lokal sudah lenyap dan tabu budaya dicabut dari akarnya lalu dibuang. Lesung, alat mengetam dan bulir-bulir padi bagi masyarakat petani saat ini hanya sebuah khayalan.

Dalam tatanan masyarakat petani, lesung tempat penumbuk padi merupakan tempat merajut kebersamaan. Di tempat itu, para ibu bahu membahu menumbuk padi mereka secara bersama. Semangat gotong royong dirajut di sana. Yang jelas, kebersamaan petani desa di sekitar lesung tergusur ketika peradaban mesin giling padi telah menggantinya. Semangat gotong-royong, saling membantu, membagi cerita sudah lenyap.

Dewi Sri sudah pergi karena suasana budaya di pedesaan tak lagi kondusif. Dewi Sri raib dari daerah-daerah yang dulu dilindunginya. Hasilnya, daerah-daerah yang dulu menjadi lumbung padi, kini kelaparan dan ditimpa bencana terus menerus. Ketika Dewi Sri pergi, tidak hanya bencana alam dan kelaparan yang timbul, tapi juga bencana sosial.

Diva Cri Migration

Perupa Gigih Wiyono, kelahiran Jawa Tengah, lewat salah satu karya lukisan bertajuk ”Pertemuan” (200×400 cm, oil on canvas), menampilkan sosok-sosok perempuan desa yang sedang menumbuk padi dengan menggunakan alat tumbuk tradisional lesung dan alu.

”Padi hanya di awang-awang dan sebagai gantinya, masyarakat petani hanya menumbuk batu-batu,” ungkap Gigih.

Kurator M Dwi Marianto mengatakan, permasalahan di sekitar Dewi Sri yang disoroti Gigih sesungguhnya merupakan manifestasi dari minatnya yang begitu besar akan tradisi.

Dia sekaligus mengungkapkan keprihatinannya atas tradisi pertanian yang sekarang masih ada, tetapi keberlanjutannya terancam oleh budaya modernis dan gaya hidup urban yang begitu piawai melahap tanah pertanian yang hijau dan segar.

Karya Gigi hanyalah suara kecil di padang urbanisme dan modernisme yang hanya melihat sebuah logika praktis positifistik dan hedonistik. Migrasi Diva Sri tak lain adalah salah satu dari berbagai pembayangan akan perginya daya hidup dari lingkungan petani.

 

Ketika Dewi Sri Pergi

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *