
Dalam tradisi kemanusiaan, istilah kebudayaan selalu menjadi satu kosakata untuk melihat seluruh cakupan dimensi kehidupan manusia.
Perputaran roda waktu yang bergulir dalam hitungan durasi telah melahirkan sebuah pemilahan atau sekadar batasan periode tertentu, yang disebut sebagai masa klasik,pertengahan,dan modern. Namun, batasan itu sesungguhnya tidak pernah berdiri secara tegas, stabil, dan tak tergoyahkan, sebab sifat dasar kosmos dan manusia tidak memiliki limit waktu dan ruang yang tetap. Gerak dalam ruang dan waktu itu sendiri bahkan begitu rumit untuk ditangkap sebagai momen yang terhenti, karena lintasannya seperti kereta yang melaju kencang.
Jalan kebudayaan
Karena itu,jalan kebudayaan selalu memuat peristiwa ironi,ketegangan, absurditas, dan kontradiksi di dalamnya. Cermin kebudayaan itu kini mulai terfragmentasi dalam lanskap dan etalase modern. Di zaman dulu, mungkin kita masih menemukan sebuah oase kebudayaan dengan otentisitas dan ekspresi estetis yang memiliki akar budaya lewat pergumulan manusia di kesehariannya.
Meski teknik dan industri dalam fase itu belum mewarnainya, khazanah kebudayaan di masa lalu itu begitu terasa genuine untuk dipahami dan dihayati.Karya lukisan Michael Anggelo, Da Vinci, sastra Homeros, dan goresan tinta kebijaksanaan dari para filsuf begitu mengesankan sebagai sebuah anasir pikiran dan roh suatu zaman yang memiliki rumahnya dalam kebudayaan.
Ironisnya, setelah semua anasir, penemuan ilmiah, dan instrumen tersedia dalam bentuk instrumental reasonyang menjelma dalam teknologi industri, masyarakat manusia di zaman ini malah tenggelam dalam opium etalase kebudayaan masif yang menyajikan gairah, ritus, dan korban kemanusiaan baru dalam lanskap modernisme yang meniscayakan kuasa teknologi.
Semenjak fasisme, nazisme, komunisme, dan konflik rasisme menjadi keseharian rutin dalam kecamuk perang dunia kedua,manusia begitu terlihat rapuh, letih, buas, dan nyaris kehilangan eksistensinya di dunia. Peristiwa negatif itu sesungguhnya paralel dengan penempatan pengetahuan yang hanya berfungsi teknis dan kontrol dominannya atas gerak dan aktivitas manusia semata.
Akibatnya, ia mengabaikan dimensi kritis dan emansipasi dari pengetahuan. Kini setelah kecamuk itu berakhir, setelah darah mengering di pundak komunisme, fasisme, atau nasionalisme, manusia modern yang tercerahkan dengan sains dan teknologi malah mencari jalan lain untuk menebar korban kemanusiaan baru, baik dalam bentuk fundamentalisme pasar maupun agama.
Kebudayaan pun seakan tak habisnya menorehkan darah dan korban kemanusiaan. Demokrasi sebagai peninggalan tua pun hanya mampu memberi janji mendatang, bukan kekinian. Realitas macam ini merupakan kenyataan historis yang akan terus bergulir.
Kelahiran modernisme yang paralel dengan humanisme nyatanya tak selalu berjalan dengan mulus,karena representasi itu sebenarnya tidak berada di ruang hampa hasrat dan ambisi kuasa yang kadang menutup kemungkinan melihat sisi lain dari partikularitas nilai.
Padahal karena ketidakmungkinan immortality (keabadian) itulah,dunia terus bergerak dalam durasi yang cepat. Ia mencerminkan temporalitas ketegangan dan jejak yang hanya mungkin disematkan dalam momen kesementaraan (temporality moment),bukan sebaliknya momen keabadian (immortality moment). Dalam laju gerak itulah, kita tidak pernah menemukan titik historis yang sama antara peristiwa satu dan lainnya, karena realitas sesungguhnya merupakan taburan perbedaan dan karena itu muncul negosiasi dan kontradiksi.
Keserakahan dan kuasa teknik
Dalam proses dialektika itulah,kebudayaan manusia terus mengalami laju waktunya dalam keriuhan langit berbintang, kabut gelap, tragedi,dan labirin hidup pada akhirnya bagai cermin yang terpecah yang memancarkan ragam poros dan sudut wajah yang berbeda satu sama lainnya.
Tak pernah ada representasi yang kukuh dan stabil pada diri setiap manusia, kosmos bahkan kebudayaan secara umum. Barangkali karena itulah demokrasi dan visi kebudayaan yang kita petik dari dunia lain selalu tidak pernah sepersis merefleksikan kehidupan kita. Karena setiap modus, spirit, dan pikiran selalu memiliki habitus di mana manusia berpijak.
Demokrasi dan industrialisasi kebudayaan yang kini kita rayakan sesungguhnya merefleksikan suatu ketegangan antara rumah pikiran atau roh dan roh kebudayaan lainnya yang secara tidak sadar sedang bertukar tangkap dalam lepas di pusaran negosiasi bahkan reifikasi tanpa akhir.
Karena itulah, kejengkelan kita perihal demokrasi, kultur industri, dan laku budaya lainnya yang merebak di keseharian masyarakat kita,sesungguhnya cerminan dari kepongahan masyarakat kita yang terobsesi oleh pesona industri meski menghilangkan jati dirinya sendiri. Represi tanda, citra, dan bahasa secara tidak langsung telah menjalar dalam jejaring pikiran manusia modern, hingga mereka pun tenggelam dalam kubangan keseharian yang banal.
Manusia-manusia modern bahkan telah menjadi suplemen bagi kepentingan teknik dan industri kebudayaan. Ia bergerak bagai mesin robot yang patuh pada putaran hukum objektif pengetahuan.Lihat di Singapura,Malaysia, Jepang, dan negara maju lainnya yang mendewakan sains dan teknologi.
Masyarakatnya hidup bagai robot, berangkat pagi, pulang sore mengikuti rutinitas keseharian yang menjemukan. Semuanya telah terjerembap oleh narasi disiplin dan hukum sebagaimana pernah dimaklumatkan Michel Foucault dalam karyanya, Dicipline and Punishment. Akhirnya, bentuk kegilaan hidup pun mengidap kerumunan manusia modern dalam bentuknya yang baru, sebagaimana muncul dalam laku hedonisme dan pemberhalaan atas barang komoditas.
Kebudayaan lalu bergerak secara teknikal dan mengabaikan dimensi interioritas dan eksterioritas jiwa manusia.Teknik telah melampaui segalanya sehingga modus ekspresi yang magis dan otentik seketika hilang ditelan arus komoditas.
Ruang kebudayaan akhirnya menjadi kering bak tanah tandus, tanpa relaksasi dan ekspresi yang penuh auratik. Semuanya hanya menjadi simulakra dalam jejaring tanda dan bahasa yang menyuguhkan image, ilusi, dan delusi manusia. Realitas kebudayaan menjadi hiasan dalam etalase modern yang memancarkan citra dan tanda semu dari benda-benda komoditas.
Opini : Miming Ismail
Sumber gambar: lenterakecil.net
Kebudayaan dan Perangkap Teknologi