KARTINI benar-benar seorang korban. Perempuan Jawa yang kini telah menjadi sekadar mitos itukarena tidak dikenal dengan baik oleh generasi muda sekarang menyisakan kesaksian pedih sebagai anak manusia dalam surat-suratnya.
Kesaksian seorang korban yang sampai saat ini masih bisa dibacatentu saja jika kita peduli.Feodalisme dan kolonialisme telah menjadikan Kartini sebagai seorang korban. Karya sastra yang sempat dibaca olehnya,juga membuat Kartini berstatus korban. Budaya feodal itu benar-benar mengekang hidup Kartini dan perempuan Jawa lainnya. Demikian juga dengan budaya kolonial yang disebarkan Belanda ketika bercokol di negeri ini.Kebebasan yang seharusnya menjadi hak bagi seluruh manusia di dunia ini menjadi tersingkir dalam dua bentuk kebudayaan itu.
Sudah begitu banyak kajian dan tulisan yang membahas protes Kartini terhadap kebudayaan feodal dan kolonial.Hal yang patut selalu diingat adalah asal pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya.Kartini bagai muara dari sejumlah aliran sungai yang selalu meluap-luaptidak sekadar mengalir dengan tenang. Pada tempat kedua, Kartini adalah korban dari karya sastra yang pernah dibaca olehnya. Karya sastra berupa novel yang dikonsumsi Kartini begitu membakar hatinya.
Membuat api protes terhadap kondisi yang terjadi di lingkungannya menjadi kian membara.Saya selalu membayangkan; mungkin tiap Kartini menulis surat kepada beberapa sahabatnya yang orang Belanda itu,ia bagai melihat sosok lelaki memakai blangkon dan surjanberdiri di samping lelaki buleyang bertopi bundar. Hingga begitu terasa percikkan api kemarahan Kartini kepada feodalisme dan kolonialisme dalam goresan pena di suratnya. Pembacaan Kartini terhadap karya sastra begitu luar biasa. Ini tentu saja bisa dimaklumi karena ia berasal dari keluarga bangsawan yang senantiasa mementingkan pendidikan anak-anaknya.
Hingga sejumlah novel karya penulis Belanda dilahap habis Kartini. Ia tidak sekadar membaca sebuah novel bagai menonton telenovela. Kartini begitu meresapi, hanyut di dalamnya dan membiarkan dirinya disuntikkan pemikiran yang bersembunyi dalam sebuah novel. Kartini adalah penikmat novel yang khusyuk penuh seluruh. Apa kamu percaya aku membaca Hilda van Suylenberg dalam sekali putaran? tulis Kartini dalam sebuah surat bertarikh 13 Januari 1900 kepada Stella Zeehandelaar.
Tahun 1897, seorang penulis feminis Belanda yang sangat berpengaruh (dan panjang namanya), Goekoop- De Jong van Beek En Donk menerbitkan Hilda van Suylenberg (H.v.S). Kartini, pembaca novel yang khidmat itu, melanjutkan penjelasannya kepada Stella tentang cara ia membaca H.v.S: Aku mengunci diri di kamar, lupa semuanya.Aku tidak bisa meletakkannya di meja, buku itu membuatku terhanyut!.
Mevrouw Goekoopsebutan Kartini untuk penulis H.v.Sadalah salah satu sastrawan yang diidolakannya. Hingga tak aneh, ketika ia pertama kali mengirim surat kepada Stella, salah satu keinginan Kartini adalah mendengar penjelasan Stella tentang sosok Mevrouw Goekoop itu. Novel yang sarat dengan muatan feminis itu sangat memukau Kartini.
Benar-benar sebuah karya sastra yang memperkenalkan emansipasi dalam benak Kartini.Melalui H.v.S juga,akhirnya Kartini tahu bahwa nasib perempuan di manapun samatertindas dan dipinggirkan kaum lelaki. H.v.S merupakan sebuah novel yang memengaruhi gerakan perempuan di Belanda kala itu. Tetapi, Kartini begitu menyangsikan pengaruh yang sama akan terjadi di negerinya sendiri, jika H.v.S diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan dibaca perempuan- perempuan di Hindia-Belanda.
Sedikit sekali perempuan yang bisa membaca bahasa Melayu. Mereka belum siap untuk bisa membuat buku itu berguna dan memengaruhi mereka. Mereka akan menganggap buku itu sekadar sebuah rangkaian cerita saja, tidak lebih (Surat Kepada Stella,6 November 1899).
Buku lain yang memengaruhi pemikiran Kartini adalah Max Havelaarkarya Multatuli dengan tokoh Saijah dan Adinda (terbit 1860). Buku ini memberikan gambaran yang sama dengan pendapat Kartini mengenai nasib rakyat Hindia- Belanda di bawah rezim kolonial. Inilah pupuk sastra yang menumbuhhidupkan kebencian dalam hati Kartini pada sebuah fase penjajahan dalam perjalanan bangsa ini.
Kemarahan pada kolonialisme diungkapkan Kartini dalam salah satu suratnya (6 November 1899) kepada Stella; Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama tinggal di sini.
Ibu kita Kartini adalah korbandari karya sastra yang pernah dibacanya.
Ia seolah membuktikan bahwa karya sastra bisa menjadi roda gerak bagi laju sebuah peradaban masyarakat.Yang paling kontemporer, kita bisa melihat Jepang. Hal kecil,dulu Jepang tidak pernah menembus ajang Piala Dunia. Tetapi, selama bertahun-tahun,seni menggambar yang begitu kuat di Jepang telah melahirkan komik seperti Captain Tsubasa. Karya sastra telah memberikan semangat dan inspirasi bagi rakyat Jepang untuk bisa bermain di Piala Dunia.Kecil memang, tetapi itu sungguh berarti. Sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu bersikap meniru (meme).Sikap ini menunjukkan pengaruh lingkungan kepada individu.
Kartini pun mengetahui hal ini; Dorongan untuk meniru itu normal saja. Masyarakat meniru kehidupan yang mereka anggap lebih baik, dan pada gilirannya mereka mengikuti gaya hidup orang-orang kelas yang lebih tinggi dan puncaknya meniru yang terbaikorang Eropa(surat kepada Stella,25/05/1899).
Tetapi, dengan begitu cerdasnya, Kartini menjelaskan bahwa sikap meniru itu tidak bersifat seluruh.Yang baik diambil, dan membuang yang buruk. Kartini senantiasa mengomparasikan secara kritis pengetahuan yang ia peroleh dari barat (pemikir-pemikir Eropa) dengan kondisi lingkungan tempat ia hidup sehari-hari.
Kartini memang korbandari karya sastra.Tetapi ia korban yang aktif bukan pasif.Korban pasif ini bisa kita lihat pada gejala pengaruh dari seni populer terhadap masyarakat kita saat ini. Kartini mencari semacam alat gerak pada karya sastra untuk menjaga semangat dalam rangka mengubah kehidupan bangsanya.
Dalam khazanah ilmu pengetahuan, kita mengenal istilah Weberian, Marxian, Durkheimian, sampai Parsonian. Tambahan akhiran ian pada belakang nama tokoh itu menunjukkan kelompok yang setia mengkaji dan mengembangkan pemikiran sang tokoh.Tapi, kalau di Indonesia, istilah Kartinian merujuk pada serangkaian acara memperingati Hari Kartini yang melulu seremonial, dan cenderung identik dengan kaum hawa. Hati saya pun teriris miris.
Mengenang Kartini berarti mengingat kembali napak tilas Kartini dalam menemukan pemikirannya. Itu adalah jalan yang bisa dilalui kita semua tanpa pandang jenis kelamin. Memperingati sosok Kartini sama artinya dengan membuka kembali kisah anak manusia yang tercerahkan oleh karya sastra.
Opini : DENNY ARDIANSYAH
Kartini dan Pengaruh Karya Sastra