Di Kayu Tanam, Padang, pernah atau masih ada sekolah beruk pemetik kelapa. Ongkosnya lebih murah daripada sekolah anjing agar bisa duduk berdiri bergulung dan mengambilkan koran.
Maklumlah, anjing yang masuk sekolah biasanya bukan mongrel. Yang berkepentingan agar anjingnya terpelajar pun orang berada. Sedangkan yang berkepentingan dengan beruk pemetik kelapa, ialah para petani. Sekolah mengajarkan agar beruk bisa memetik kelapa yang ditentukan bosnya.
Kelak,majikan itu berkeliling di perkebunan dengan sepeda atau motor, berboncengkan beruk berijazah. Pemilik kebun kelapa akan menyewa jasa mereka, yaitu jasa kerja sama bos dan beruk. Si beruk naik, dengan panjang rantai yang melebihi tinggi pohon kelapa. Bos akan memberi tanda lewat tarikan rantai, seperti yang telah diajarkan di sekolah.
Orang kota bisa membayangkan pemandangan romantis ini. Siluet lelaki bersepeda dengan beruk berlatarkan nyiur melambai.
Cerita di Balik Sepotong Gula Merah
Orang Padang tidak memetik kelapanya sendiri. Beruk yang melakukannya. Karena itu,barangkali,mereka tak membikin gula merah, yang di sana dikenal sebagai gula Jawa.Di Bali gula kelapa ini dikenal dengan gula Bali. Di Menado, gula Menado. Tapi karena orang Jawa lebih dari 40%, yang paling banyak menyebutnya gula Jawa. Sedangkan gula putih,di masa koloni, kerap juga disebut gula Belanda.Maka gula merah adalah gula pribumi.
Gula putih gula kompeni. Maklum, adalah Belanda yang memperkenalkan perkebunan tebu. Kenapa dulu orang Padang tak memiliki gula Minang,barangkali karena gula kelapa tak mungkin dikerjakan oleh beruk. Atau, sekolah beruk yang saya tahu belum bisa mengajarkan muridnya menderes nira, yaitu air dari tunas sesungguhnya kelak akan membangun buah.
Di masa lalu penderes juga menciptakan pemandangan romantis tentang negeri nyiur.Mereka bertelanjang dada, membawa bumbung di punggung, serta pisau selok yang ditancapkan di sumbing tabung bambu itu. Mereka memanjat batang kelapa dengan lihai dan anggun. Lalu menyayat pucuk mayang dan memasangkan bumbung agar menadah tetesan air tubuh nyiur.
Tapi itu ketika kebutuhan belum massal. Kini, ketika pola sosial ekonomi berubah, urusan gula kelapa menjadi industridi Jawa Barat bisnis gula merah bisa menyumbang pajak 11milyar per tahunpenderes menjadi roda mesin. Bumbung yang anggun dianggap kurang praktis.
Konon, air yang ditampungnya cepat menjadi masam. Digantilah dengan ember atau kaleng, hmm, bekas cat. Karena ember tak punya sumbing untuk menyimpan arit penyadap,dua benda itu dipegang dua tangan. Akibatnya, penderes memanjat dengan dua tangan mengepal sekarang.Mereka juga mengejar setoran, sebab upah bergantung pada jumlah tabung yang disetor hari ini.
Mereka tak lagi memanjat dengan anggun,tetapi dengan terburu-buru. Diam-diam, begitu banyak yang jatuh. Bukan, bukan kelapa, melainkan penderes. Sebuah koran pernah mengatakan, di Pacitan 40% buruh sadap nira tewas karena jatuh. Mereka memanjat tanpa pengamanan.Padahal, pola kerja telah berubah.
Di masa lalu, ketika orang masih memanjat dengan elegan itu,mereka mengoleskan campuran getah nangka dan kapur sirih pada bumbung sebagai sejenis pengawet. Agar air tak cepat masam. Sebagai ganti bisa juga dipakai lerak pencuci batik.Namun,segala yang alami semakin sulit didapat sekarang.
Kini, sebagai ganti lerak, mereka juga memakai Daia, Rinso, Attack,atau detergen apa pun mereknya, yang mereka oleskan di dinding ember. Dengan demikian, kata mereka, nira lebih mudah dan lebih cepat diproses menjadi gula. Hmm. Entah jika lebih enak.Pasti tak lebih sehat.
Perlu penelitian berapa industri yang tak peduli.Yang peduli mungkin yang melayani industri besar lain, semisal kecap. Gula yang dicurahkan ke pasar untuk pembeli sederhana itulah mungkin yang mengandung deterjen. Sekarang saya semakin mengerti, kenapa kue lupis lebih enak di masa saya kecil.
Dulu, nyaris di setiap pedagang saya mendapat rasa kue ketan dan juruh gula yang standar.Sekarang,saya tak pernah lagi membeli lupis. Sebab, rasanya sungguh tak bisa dipercaya. Dalam sepotong gula kelapa,mungkin ada deterjen, atau nyawa penderes yang jatuh.(*)
Opini : Ayu Utami
Cerita di Balik Sepotong Gula Merah