Catatan Budaya Cokek? Cocok!

Budaya Cokek

Di daerah perkampungan yang masih dikenali sebagai “Kampung Naga”,yang menunjukkan asal-usul perkampungan China, di “balik”bandara Soekarno-Hatta,Tangerang, kita masih menjumpai cokek sebagai salah satu ragam budaya.

Cokek di daerah itu, salah satu kampungnya bernama Kali Mati, masih seperti dulu, dengan penyanyi dan penari yang dikepang rambutnya, pakaian kebaya atau juga “cheong sam”, atau minimal warna merah dan memakai cukin. Cukin atau soder adalah selendang penari yang dipakai untuk pergaulan. Dengan cukin ini penari menghampiri tamu untuk diajak menari. Kalau ia malu-malu, ada comblang yang akan mengantar.

Kemeriahan dalam iringan Gambang Kromong –musik pengiring dengan suling, gambang kayu, rebab, kempul, kecrak, ketuk, kendang– kini sudah ditambah dengan gong besar,yang tidak hanya satu jumlahnya. Ada lagu-lagu wajib yang “harus” disertakan,ada lagu-lagu baru yang dikenal di dunia dangdut,pop,atau model “campur sari”. Pokoknya komplet-plet karena iringan musik juga memakai instrumen China, karena kita bisa menari berombongan atau sendiri, karena para tetamu bisa mengenal yang punya rumah, bisa juga singgah ketika lewat.

Umumnya pertunjukan hiburan cokek diadakan bersamaan dengan hajatan perkawinan. Meskipun kita tak tahu yang kawin siapa, di mana, hajatan itu berlangsung boleh dikatakan setiap hari. Biasanya dilakukan di “rumah kawin” atau “kandang kawin”, semacam rumah pertunjukkan yang ramai. Juga ramah. Bulan-bulan lalu saya dan beberapa teman bergaul di situ dan menemukan hal-hal yang unik, perkawinan itu tidak selalu antar keturunan walau dilangsungkan di kelenteng.

Waktu itu ada yang menikah secara Islam, tetapi dengan aksesori Jawa –segala uba rampe atau sesajian komplit.Semua upacara mengalir lancar, aman, terkendali –inilah bahasa keamanan– damai dan meriah. Tak ada pemisahan, tak ada yang dianggap asing. Semua bergembira. Dalam diskusi Budaya Nasional yang diselenggarakan Depbudpar di Jakarta, saya memakai pendekatan bahwa Cokek adalah salah satu keragaman budaya yang menampung berbagai aspirasi budaya asal, yang menemukan dinamikanya sehingga mencapai bentuknya yang sekarang.

Bahwa ada asal-usul, ada sejarah, ada tata krama dan tata nilai, atau bahkan stilisasi pencapaian nilai tertentu, tidak menghalangi sampai ke bentuk yang sekarang. Bahwa ada keberatan dan penolakan juga kritikan pada bentuk yang sekarang ini, tidak berarti penghentian bentuk yang sekarang ini. Tinggal bagaimana kita mencoba masuk dan menghidupkan perkembangannya. Para seniman pendukungnya yang berperan besar. Sebagaimana –sekadar untuk contoh– bagaimana Sardono W Kusumo, koreografer dan penari yang mengembangkan tarian cak Bali atau sendratari di Prambanan.Titik tolak seperti ini rasa-rasanya menarik manakala kita memberikan bingkai “budaya tradisi” yang relevan dengan keindonesiaan kita saat ini.

Cokek yang makin tersisihkan ini hanyalah salah satu ragam budaya yang masih bisa digemakan kembali nilai-nilai antar budaya yang berhasil dikemas. Aktualisasi ini menjadi dorongan penting untuk mengembangkan kembali, selain atas dasar nostalgia atau cinta budaya membabi buta. Cokek,dengan perubahan besar yang tetap terlupakan adalah salah satu dari sekian ribu –atau sekian puluh ribu jenis-jenis budaya– yang bisa menemukan gema di masa kini.

Hal yang sama bisa kita temukan di berbagai komunitas yang masih bisa menyetiai. Yang memerlukan penekanan tertentu agar bisa menarik dan memberikan sesuatu.Sebagaimana misalnya,ada berbagai jenis tarian dari Flores yang lebih memperlihatkan unsur-unsur demokratis, atau lagu Nina Bobo yang dianggap termasuk lagi penidur anak dunia.Sebagaimana misalnya saja, pada perkembangannya yang sekarang ini di daerah gunung Merapi- Merbabu dan lima gunung lain bisa tumbuh ratusan grup kesenian dengan pertunjukan nyaris setiap hari.

Atau di Cirebon masih ada primadona tarling yang semok, yang aduhai dengan pekerjaan harian berjualan mainan dan makanan kecil di depan gedung sekolah dasar. Atau di Solo, masih ada yang mengikuti kursus –dengan membayar– nembang macapat yang secara ekonomi tak memberi tambahan penghasilan. Atau juga sikap yang sama pada para pedagang martabak di Tasikmalaya, para pembuat sup kepala kambing di Tanah Abang Jakarta, para dalang gemblung yang ngamen sendirian di daerah Banyumas, para pengrajin batik, bordir, para dalang dari suket (rumput), sampai masyarakat di Magelang yang masih mewariskan kebiasaan menanam rumput meskipun rumahnya sudah berdinding beton.

Di balik semua kegiatan budaya ini, ada kebijakan lokal, strategi, juga filosofi yang mendasari, yang diyakini, dan teruji. Memang ini tidak sepopuler wayang orang,ketoprak,ludruk,seudati, sisingaan, reog, debus, gambuh, gambyong, tetapi bukan berarti tak ada atau terlupakan. Justru inilah warisan budaya –istilah yang digunakan pemerintah Malaysia untuk menghaki– yang sesungguhnyalah masih begitu banyak,begitu beragam untuk diungkap, untuk diwarisi sekaligus diwariskan. Kemungkinan kekayaan budaya ini tak akan habis,bahkan untuk satu jenis tarian menyambut tamu ratusan ragamnya. Kecuali kita tidak menggubris atau negara lain memproklamasikan sebagai ahli waris. Untuk ini, semua tak cukup hanya didiskusikan atau diomongkan, dituliskan sesaat, atau diwacanakan dalam Kongres Kebudayaan tahun depan. Peristiwa budaya juga peristiwa ragawi.

Opini : Arswendo Atmowiloto (Budayawan)

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *