Budaya Menyikapi Bencana Alam

Budaya Menyikapi Bencana Alam

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terbentang sepanjang tidak kurang dari 5.000 kilometer dari Sabang sampai Merauke dan tepat di garis khatulistiwa, memiliki berbagai keunikan alam. Keanekaragaman hayati di darat dan di air hanya dapat disaingi oleh Brasil. Begitu juga dengan keanekaragaman kekayaan alam lain, seperti sumber daya mineral dan sumber energi. Sering kita menerima dan menikmati kekayaan alam ini sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa belaka.

Bahkan, tidak jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini kita memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa kekayaan alam ini adalah sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti kita pertahankan kelestariannya.

Budaya “Niteni”, “Niroake,” dan “Nambahake”

Dari berbagai sumber pengetahuan kita dapat memahami bahwa kekayaan berupa keanekaragaman hayati dan sumber daya alam kita ini dianugerahkan kepada kita melalui berbagai kejadian alam yang sering kita kategorikan sebagai bencana alam karena menimbulkan kerugian jangka pendek bagi umat manusia, seperti kematian, kehilangan rumah, ternak, kebun, serta kerugian aset fisik lainnya dan juga kerugian akses ke berbagai layanan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, spiritual, dan kenikmatan transaksional lain.

Padahal, jika kita dengan kepala dingin dan hati terbuka mau menggunakan anugerah lain yang diberikan kepada kita, yaitu keingintahuan (titen dalam bahasa Jawa atau iqra dalam bahasa Arab) akan kejadian alam, maka kita tidak akan selalu bersifat negatif menilai kejadian alam yang kita sebut bencana tersebut.

Niteni (dengan kata dasar titen) adalah perilaku yang menjadi ciri kaum terdidik yang dapat diperoleh melalui bangku sekolah atau melalui pengetahuan turun-temurun untuk selalu ingin tahu dan mengenali alam. Dengan bekal niteni ini, kita ketahui bahwa tanah kita menjadi subur dan laut kita begitu kaya akibat meletusnya gunung api di darat ataupun di dasar laut yang memuntahkan berbagai unsur alam yang lengkap dan setelah beberapa lama akan melengkapi unsur hara dalam tanah dan berbagai mineral yang memperkaya kandungan air laut.

Jika kita hanya menggunakan kacamata miopik, maka kita akan terjebak pada penilaian letusan gunung api ini sebagai bencana alam. Serupa dengan berkah ketersediaan minyak bumi, gas alam, batu bara, dan berbagai sumber daya mineral.

NKRI terbentang dan berada di perbatasan tiga lempengan bumi: Eropa-Asia, Asia-Pasifik, dan Australia-Asia. Ketiga lempengan besar ini bergerak dengan arah dan laju tertentu yang menyebabkan lempengan-lempengan ini saling bergesekan dan juga bertubrukan satu dengan yang lain. Gesekan dan tubrukan ini yang membuat satu lapisan menumpuk di lapisan lain, menciptakan ruang-ruang kosong dan jadi jebakan bagi gas, minyak bumi, batu bara, dan bahan galian lain.

Di sisi lain, gesekan dan tubrukan dua atau lebih massa besar ini menimbulkan getaran besar dan dislokasi massa yang jika terjadi di dasar laut akan mengubah perilaku laut secara mendadak, tsunami (tsu dan nami bahasa Jepang yang berarti gelombang menuju darat atau pelabuhan) adalah salah satu contoh. Kekuatan tsunami mampu membawa berbagai unsur laut yang subur dan kaya akan mineral ke daratan. Sekali lagi, dengan kriteria jangka pendek yang membuat kita terperangkap dalam menilai tsunami sebagai bencana alam.

Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat menikmati dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan menghindarkan dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki Hadjar Dewantara mewariskan pada kita ilmu dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3: Niteni, Niroake, dan Nambahake.

Jika niteni fokus pada upaya mengetahui dan mengenali berbagai kejadian alam. Niroake atau menirukan adalah langkah selanjutnya dari hasil kita niteni, yaitu berupaya menirukan kejadian alam yang telah kita ketahui dan pahami untuk tujuan memenuhi kebutuhan kita. Sedangkan nambahake adalah upaya memberi nilai tambah dari kejadian alam yang telah kita kuasai dan bisa tirukan tersebut.

Mari kita lihat bagaimana budaya niteni, niroake, dan nambahake kita terapkan dalam menyikapi “bencana alam”, khususnya letusan gunung api, gempa tektonik, dan tsunami.

Peringatan Dini Bencana

Iptek yang diperoleh dari bangku sekolah, seperti geologi dan geofisika, maupun pengetahuan turun-temurun yang mengajarkan untuk mengenali peristiwa-peristiwa alam, baik dengan mengamati perubahan-perubahan perilaku alam yang besar sampai terkecil selalu berbasis pada niteni, yaitu mengenali perilaku alam.

Gerakan ketiga lempengan besar yang telah disebutkan terdahulu selalu diikuti dengan tanda-tanda alam. Getaran-getaran seismik, turun-naiknya temperatur, tekanan udara dan tinggi permukaan laut, pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku binatang, adalah beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh gesekan dan tubrukan lempengan bumi.

Istilah smong yang dikenal baik dalam kultur Simeulue adalah suatu contoh konkret dari niteni perilaku alam, yaitu turunnya muka laut secara tiba-tiba yang diikuti dengan aksi lari ke tempat tinggi dalam upaya meminimumkan korban dari bencana tsunami.

Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, tentu tidak dengan sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada. Dalam ilmu logis, upaya niroake (menirukan) ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak digunakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Simulasi gunung api dan gempa tektonik yang menjadi bekal kita untuk melakukan prakiraan akan munculnya bencana. Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System/T-EWS) dibangun dengan modal dasar niteni dan niroake.

Data yang dihasilkan oleh perlengkapan dan peralatan mendeteksi getaran bumi, baik di darat maupun di laut, dipasang di titik-titik yang diperkirakan akan mampu memberi sinyal akan kejadian gempa tektonik yang kemudian menjadi bekal dalam upaya niroake (kata lain dari simulasi) yang kemudian akan memberi tahu tentang kemungkinan suatu gempa tektonik di dasar laut akan menimbulkan tsunami. Ini yang kita sebut sebagai peringatan dini tsunami.

Idem dengan gunung api, beragam peralatan yang terpasang tepat di lokasi puncak gunung api ataupun pemantauan yang dilakukan dari jarak jauh sampai pada pemanfaatan citra satelit akan memberi masukan bagi simulasi gunung api. Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung api. Titen yang dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan holistik yang sebetulnya merupakan N3 yang komplementer dari iptek logis: geologi, geofisik, dan biofisik.

Sistem peringatan dini tsunami dan gunung api yang dijadikan cikal bakal pembangunan Sistem Peringatan Dini Bencana (Multi Hazard Early Warning System/MH-EWS). Longsor, banjir, dan kebakaran kebun-hutan adalah jenis bencana yang perlu juga kita upayakan bersama penanggulangannya.

Untaian sepanjang 1.200 km dari barat sampai ke timur Indonesia yang merupakan batas-batas ketiga lempengan besar berpotensi memicu berbagai kejadian alam besar. Untaian ini dikenal sebagai Ring of Fire. Upaya yang paling konservatif dalam menghindarkan dari dampak bencana alam adalah menjauhinya. Ini tentu mudah dikatakan, tapi muskil untuk dilakukan. Membangun MH-EWS dan melakukan pembelajaran publik akan berbagai potensi bencana adalah langkah yang akan efektif dalam mitigasi atau mengurangi dampak bencana.

Pembelajaran Publik

Mengajarkan pengetahuan kejadian alam melalui bangku sekolah adalah salah satu cara, baik melalui kurikulum formal maupun memanfaatkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Khotbah di masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, dan rumah ibadah lain adalah juga cara yang terbukti ampuh. Tulisan-tulisan ilmiah populer dan komik juga upaya yang luhur. Masyarakat Jepang dapat kita jadikan sebagai model panutan dalam pembelajaran publik dalam menyikapi bencana alam, mengingat deretan pulau dan lautnya menyimpan potensi besar berbagai bencana alam.

Komik Api Inamura (Inamura Nori) telah dikenal masyarakat Jepang sejak abad ke-18 sebagai upaya pembelajaran publik dalam mengenali dan menyikapi tsunami. Kemajemukan kultur dan struktur komunitas Indonesia yang memiliki pengetahuan turun temurun dan menjunjung kearifan lokal, seperti smong di masyarakat Simeulue, perlu terus digalang, didorong, dan ditumbuhkembangkan sebagai upaya memperkaya iptek logis yang masih jauh dari merata dan mencukupi, mengingat pendidikan formal masih juga belum berhasil dijadikan sebagai komponen utama pembangunan Indonesia.

Dengan membaiknya pengetahuan masyarakat tentang bencana tentu berbagai adaptasi akan segera dilakukan. Bangunan tahan gempa dan siaga terhadap bencana adalah dua hal penting dalam upaya mitigasi bencana.

Bangunan tahan gempa

Dengan mengenali beragam potensi bencana alam, tentu masyarakat dengan pengetahuan dan kemampuan yang ada akan melakukan penyesuaian. Ini merupakan sifat natural dari manusia untuk tetap bisa hidup (to learn dan to survive). Budaya rumah-rumah adat yang kita kategorikan sebagai bangunan dengan arsitektur tradisional sebetulnya sudah secara intrinsik memperhitungkan potensi bencana alam.

Pembangunan rumah menggunakan pondasi pasir, kayu, dan tali pada rumah-rumah adat dan tradisional seperti bangunan rumah kaum Badui di Banten Dalam adalah jenis rumah tahan gempa karena bangunannya yang fleksibel alias lentur dan dapat beradaptasi terhadap gerakan lateral dan vertikal akibat getaran dan gempa.

Tawaran menarik dari arsitektur modern dengan komponen cepat pasang berbasis semen, batu, dan besi membuat rumah kaku dan rentan terhadap bencana alam. Tentu tidak arif memberi penilaian bahwa pendekatan modern ini buruk jika dibandingkan dengan arsitektur bangunan tradisional. Kita wajib menggunakan prinsip nambahake (menambahkan) rancangan yang menjadikan arsitektur cepat bangun memiliki sifat lentur, khususnya pada fondasi dan komponen-komponen sambungan. Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai struktur bangunan tahan gempa.

Bahkan, tidak jarang dalam kita menerima kekayaan alam ini kita memperlakukannya sebagai warisan nenek moyang dan kita lupa bahwa kekayaan alam ini adalah sesungguhnya titipan anak-cucu yang mesti kita pertahankan kelestariannya.

Rumah menggunakan fondasi pasir, kayu, dan tali pada rumah-rumah adat dan tradisional seperti bangunan rumah kaum Badui di Banten Dalam adalah jenis rumah tahan gempa karena bangunannya yang fleksibel alias lentur dan dapat beradaptasi terhadap gerakan lateral dan vertikal akibat getaran dan gempa.

Tawaran menarik dari arsitektur modern dengan komponen cepat pasang berbasis semen, batu, dan besi membuat rumah kaku dan rentan terhadap bencana alam. Tentu tidak arif memberi penilaian bahwa pendekatan modern ini buruk jika dibandingkan dengan arsitektur bangunan tradisional. Kita wajib menggunakan prinsip nambahake (menambahkan) rancangan yang menjadikan arsitektur cepat bangun memiliki sifat lentur, khususnya pada fondasi dan komponen-komponen sambungan.

Ini yang kemudian diperkenalkan sebagai struktur rumah tahan gempa. Hal ini berlaku juga pada pembangunan bangunan-bangunan lain di darat dan di pesisir, baik untuk rumah, bangunan publik, maupun industri. Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menetapkan persyaratan bangunan (yang dikenal dengan istilah building code & standard) dan melakukan pengawasan dengan saksama dalam pemenuhan persyaratan tersebut.

Agar masyarakat siaga.

Mengenali potensi bencana merupakan prasyarat dalam mitigasi bencana. Pelajaran dari pengetahuan turun temurun, kearifan lokal dan memadukannya dengan pengetahuan dan pengalaman logis yang ditumbuhkembangkan oleh kaum intelek di kampus, laboratorium, studio, atau kelompok ormas dan LSM domestik serta internasional akan menjadi ciri khas alias keunikan pendekatan ala Indonesia. Niteni, niroake, dan nambahake akan menambah koleksi solusi anak negeri sebagai perwujudan moto Bhinneka Tunggal Ika.

Kombinasi bangun dan sebarluaskan merupakan cara efektif dalam upaya menjadikan masyarakat kita siaga terhadap bencana. Inisiatif masyarakat Padang, Sumatera Barat, melakukan simulasi gempa dan tsunami merupakan contoh yang bukan cuma patut diacungi jempol, melainkan ditiru, khususnya bagi masyarakat-masyarakat di pesisir Sumatera, Jawa, NTB, NTT, Sulawesi, Maluku, dan pulau-pulau lain.

Paket-paket pendidikan dan pelatihan menghadapi bencana tsunami, gempa tektonik, dan letusan gunung api mesti terus dibangun, disebarluaskan, dan diterapkan melalui berbagai peluang pembelajaran publik, baik dengan prinsip wajib atau sukarela.

Bayangkan seandainya kiat smong masyarakat Simeulue sempat kita budayakan di Aceh, pembelajaran dan simulasi tsunami ala Pemkot Padang dengan sungguh-sungguh kita lakukan dan T-EWS telah efektif, tentu tragedi tsunami 26 Desember 2004 tidak memakan korban sebesar yang kita alami.

Seandainya budaya membangun rumah kaum Badui, Banten Dalam, telah menjadi kebiasaan masyarakat Yogyakarta, paket pelatihan menghadapi gempa telah kita terus bangun, sebar luaskan, dan terapkan dan MH-EWS telah terbangun dan berfungsi… tentu kehancuran dan korban gempa tektonik 27 Mei 2006 akan minimal.

Terlambat? Mengapa tidak, karena itu lebih baik dari tidak melakukannya sama sekali.

 

Budaya Menyikapi Bencana Alam

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *