Ajip Rosidi, Penulis dan Budayawan

Ajip Rosidi, Penulis dan Budayawan

Ajip Rosidi dikenal sebagai salah seorang budayawan. Sejak usia remaja ia telah berkecimpung didalam dunia sastra Indonesia dan kemudian turut mengangkat sastra Sunda ke permukaan. Berpijak pada dunia pilihannya itu, tercatatlah ia sebagai penulis yang produktif dengan menerbitkan karya-karya sastra berupa antologi, kritik, dan essei. Begitu juga alat penyampaiannya, selain mempergunakan bahasa Indonesia, juga mempergunakan bahasa Sunda sebagai alat penyampaiannya.

Ajip Rosidi dilahirkan 31 Januari 1938 di Jatiwangi Cirebon, Jawa Barat. Ia adalah anak pertama basil perkawinan D. Sutawiria dengan S. Konaah. Saudara kandungnya adalah Ayatrohaedi, sedangkan saudaranya lain ibu di antaranya Unasih (almarhumah), Yaya Kusniati, Kastaman, Ustaman, Supyan, dan Didit Haryadi

D. Sutawiria, ayah Ajip Rosidi adalah seorang guru yang mengajar pada Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar) dengan penghasilan pas-pasan. Konon karena itulah maka pada masa awal kemerdekaan, untuk meringankan beban hidup orang tua, Ajip membuka usaha dengan memproduksi oncom. Dalam pelaksanaan kegiatan ini ia melibatkan saudara dan tetangga dekat, baik sebagai tenaga pengolah maupun tenaga untuk memasarkan.

Pada tahun 195 5, sewaktu Ajip Rosidi berumur 17 tahun, tepatnya 6 Agustus 19 55 , ia melangsungkan pernikahan dengan Fatimah Wiryadibrata di Jakarta. Pernikahan ini sebenarnya tidak mendapat persetujuan dari orang tuanya, begitu juga dari pihak istri, tetapi Ajip Rosidi merasa optimis, karena ia telah mempunyai penghasilan tetap sebagai satu dasar penting untuk membina rumah tangga.

Demikianlah rumah tangga mereka dalam suasana yang penuh kedamaian, tanpa prahara. Kebahagiaan rumah tangganya ditandai pula dengan lahirnya putra-putri mereka, di antaranya Nunun Nuki Aminten, Titi Surti Nastiti, Uga Perceka, Nundang Rundagi, Rangin Sembada, dan Titis Nitis Wari.

Jenjang pendidikannya yang ditempuh Ajip Rosidi tidaklah begitu lancar. Dalam mengikuti pendidikan ia beberapa kali pindah tempat. Pada tahun 1944 ia memasuki Sekolah Rakyat (SD) di Jatiwaringi dan tamat tahun 1950, kemudian melanjutkan pada SMP Negeri di MAjalengka, tetapi tahun 1951 ia pindah ke Jakarta dan masuk SMP Negeri VIII di Pegangsaan Barat Jakarta, tamat tahun 1953 .

Pada tahun 1953-1954 ia mengikuti pendidikan pada SMA Negeri Bagian B di Jalan Batu. Sore harinya ia mengikuti juga pendidikan pada SMA ABC-C bagian A di Jalan Budi Utomo. Pada tahun 1954–1955 mengikuti pendidikan di Taman Madya Taman Siswa di Jalan Garuda jakarta, tetapi entah kenapa menjelang ujian akhir ia menyatakan keluar.

Dalam mendalami ajaran agama, semula ia mengagumi tulisan atau ajaran Penghulu H. Hasan Mustapa, tetapi setelah tahu kedalamannya, ia meninggalkannya dan kemudian langsung menemui sumbernya yang utama, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu yang ter-maktub dalam Quran dan Hadis.

Pada tahun 1955 nama Ajip Rosidi sudah mulai kokoh terpancang di tengah percaturan sastra nasional. Tampilnya Ajip Rosidi di pentas kesusastraan Indonesia cukup mengejutkan, karena usianya yang relatif muda telah berhasil mendapat tempat yang pantas.

Keberhasilannya ini berangkat dari kegemarannya membaca yang telah ditekuninya sejak kecil di desa kelahirannya. Kemudian dengan kepindahannya ke Jakarta telah pula mempercepat proses kemunculannya, karena karya-karyanya berbentuk puisi dan cerita-cerita pendek telah mendapat ruangan di dalam media yang telah ternama yang terbit di Jakarta.

Pada tahun 1955 terbit bukunya yang pertama berupa kumpulan cerita pendek yang diberi judul Tahun Kematian, diterbitkan Penerbit Gunung Agung. Kemudian tahun 1956 terbit pula kumpulan puisinya bersama Sabron Aidit dan SM. Ardon yang berjudul Ketemu di Jalan.

Keterlibatan Ajip Rosidi sebagai penulis sudah begitu jauh, sehingga ia tidak lagi melihat sebagai suatu pilihan karena lapangan itu memberi kehidupan kepadanya. Awal geraknya ada keraguan, tetapi dengan dorongan ibunya serta panggilan dirinya telah berhasil menembus dan dikuasinya, sehingga pada masa-masa selanjutnya terdaftarlah sebagai penulis yang produktif, tetapi tidak terjebak ke dalam roman picisan.

Menulis bagi Ajip Rosidi bukan saja karena kebutuhan secara ekonomi untuk mencari nafkah secara halal, melainkan juga secara rohani untuk memberikan kesaksian pribadi tentang hidup ini karena suara yang jauh di dalam kalbunya meminta kesaksian terhadap segala soal yang berlangsung di sekitarnya ataupun di dalam dirinya. Semua itu merupakan kekuatan penggerak untuk menulis sebagai pernyataan keharusan kebenaran.

Bertolak dari dorongan itulah maka Ajip Rosidi tergolong sastrawan yang cukup produktif. Ia telah banyak menerbitkan karya-karya sastra berupa buku asli, buku saduran, terjemahan, telah dan sejarah sastra, antologi puisi maupun kritik essei. Selain itu ia juga menulis dalam bahasa ibunya, bahasa Sunda.

Sementara itu ada kalangan yang mencurigai Ajip Rosidi pada awal geraknya, mereka menuduh bahwa Ajip Rosidi jalannya menyimpang. Ia telah meninggalkan budaya bangsanya dan bahkan ada yang menganggap Ajip telah menghina budaya ibunya.

Hal ini pula menunjuk pada tulisan Ajip Rosidi yang termuat dalam kumpulan esseinya, yang isinya menyerang dengan tajam sastrawan Sunda, sehingga karenanya sastrawan-sastrawan Sunda menjadi gusar, terutama yang tua-tua seperti MA. Salamun sebagai raja sastra Sunda merasa kedudukannya telah digoncang oleh tulisan Ajip Rosieli.

Namun demikian agaknya serangan yang dilakukan oleh Ajip Rosidi merupakan syarat yang pas untuk membangunkan sastrawan-sastrawan Sunda dari buaiannya. Dengan bangunnya sastrawan tersebut, tahun-tahun berikutnya Ajip Rosidi memastikan diri masuk di dalamnya. Ia kembali menekuni budaya ibunya dengan menuliskan cerita-cerita Sunda dengan bahasa Sunda. Hal ini sebenarnya telah dilakukan pada waktu sebelumnya, ketika ia masih di Jatiwangi.

Dalam memperhatikan budayanya tersebut bukan saja hanya menulis dengan memakai bahasa dan cerita Sunda, melainkan juga berupaya mengangkat ke permukaan dengan jalan menghimpun kekayaan budaya Sunda umumnya . Untuk kepentingan itu ia telah melakukan rangkaian-rangkaian penelitian tentang sejarah, bahasa, sastra, sejak waktu lampau sampai masa kini. Salah satu usahanya adalah mengangkut pujangga Sunda yang legendaris, Penghulu H. Hasan Mustapa.

Dalam mengangkut kebudayaan Sunda, Ajip menempatkan diri sebagai motor penggerak untuk mendirikan badan-badan atau organisasi kebudayaan dan media lain sebagai tempat sastrawan berkumpul, sastrawan Sunda khususnya.

Dari kegiatan yang dilakukan Ajip Rosidi dapat diringkas dalam periode tahun 1950–1970, di antaranya pada tahun 1956 mendirikan Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda (LBSS), tahun 1956–1 958 duduk sebagai anggota Pengurus LBSS, tahun 1957 mendirikan studi klub KIWARI.

Pada tahun 1962 mendirikan sekaligus menjadi redaktur penerbit PT. KIWARI yang kegiatannya menerbitkan buku-buku sastra Sunda dan Indonesia. Dalam tahun 1963 bersama Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Rukasah, dan kawan-kawan lain mendirikan Yayasan Kebudayaan Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1965 mendirikan Penerbit CV. Duta Rakyat bersama Dr. Achmad Sanusi SH., Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH., S. Sumadidjaja, dan kemudian menerbitkan majalah Mingguan Sunda.

Kegiatan Ajip Rosidi yang bersifat nasional, terutama organisasi yang bergerak dalam bidang sastra telah dimulainya sejak tahun 1953- -1955 . Dalam periode ini ia memimpin redaksi majalah Suluh Pelajar yang merupakan usaha pelajar sekolah menengah yang disebarkan ke seluruh wilayah Indonesia.

Pada tahun 1955 bersama-sama dengan Syahbuddin dan Syamsi Kertapati menerbitkan majalah Prosa dan cerita pendek, tetapi setelah terbit empat nomor berhenti, karena kedua temannya itu tidak berpengalaman dalam bidang sastra.

Selanjutnya Ajip Rosidi atas ajakan Taslim Ali dan Annas Ma’rup pindah bekerja di Balai Pustaka, tetapi tidak berlangsung lama ia memutuskan diri hanya untuk menulis. Dalam tahun 1957 ia duduk sebagai redaktur majalah Sadar. Selain itu ia juga menjadi redaktur kebudayaan surat kabar Sin Po (Pantja Warta dan Warta Bhakti).

Sebelumnya, sejak tahun 1954 ia telah menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) dan tahun 1960 duduk sebagai anggota pengurus peleno Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), dan dalam tahun 1963 menjadi sekretaris yayasan Kebudayaan Indonesia.

Dalam periode tahun 1970 -1990 kegiatan Ajip Rosidi dalam bidang kebudayaan terlihat penuh dengan kesibukan-kesibukan di dalam berbagai lembaga. Antara tahun 1971–1979 ia duduk menjadi direktur Pustaka Jaya. Setelah berdirinya lembaga ini ia melihat penerbitan buku-buku dalam bahasa Sunda dan Jawa kurang mendapat tempat, karena itu ia dengan beberapa teman mengusulkan pada Gubernur Ali Sadikin tentang pentingnya penerbitan khusus.

Itulah wujudnya Pustaka Jaya. Mengikuti kegiatan ini maka tahun 1975–1979 ia menjadi ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dan bersamaan dengan ini ia dipilih menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (1973–1979)

Demikianlah sekilas tentang Ajip Rosidi, seorang sastrawan Indonesia yang sekaligus mengangkat budaya bangsanya, teristimewa sastra budaya Sunda. Ia tidak pernah memasuki pendidikan di perguruan tinggi, tetapi tahun 1967 ia memberikan kuliah di Fakultas Sastra Unpad Bandung. Sejak tahun 1980an ia memperoleh gelar guest profesor di Perguruan Tinggi Osaka Gaidai Jepang. Semua itu agaknya karena perhatian dan dukungannya terhadap dan kebudayaan Indonesia.

Hasil karya Ajip Rosidi antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Tahun Kematian (kumpulan cerpen), tahun 1955
  2. Pesta (kumpulan sajak), tahun 1956
  3. Ketemu di Jalan (kumpulan sajak), tahun 1956
  4. Ditengah Keluarga (kumpulan cerita pendek), tahun
  5. Sebuah Rumah Buat hari Tua (kc), tahun 1957
  6. Perjalanan Penganten tahun 1957
  7. Lutung Kesarung, tahun 1968
  8. Cari Muatan (ks), tahun 1959
  9. Cerita Pendek Indonesia : Suatu Telaah tahun 1959
  10. Surat Cinta Enday Rasidin (ks), tahun 1960
  11. Ciung Wanara, tahun 1961
  12. Pertemuan Kembali (kc), tahun 196
  13. Mundinglaya Di Kusurnah, tahun 1961
  14. Sang Kuriang Kesiangan, tahun 1961
  15. Candra Kirana tahun, 1962
  16. Roro Mendut (tiga jilid), tahun 1961, 1962
  17. Purbasari Ayu Wangi, tahun 1962
  18. Kanjutkundang, antologia sastra Sunda sesudah perang disusun berdua dengan Rusrnan Sutiasumarga, tahun 1963
  19. Beber layar (bahasan dalam bahasa Sunda) tahun 1964
  20. Kapankah Kesusastraan Indonesia lahir (kumpulan bahasan) tahun 1964
  21. Masyitah, (drama dalam bahasa Sunda) tahun 1964
  22. Jalan Ke surga, tahun 1964
  23. Si Pucuk Kalumpang, tahun 1965
  24. Jante Arkidam (sajak-sajak Sunda), tahun 1965
  25. Puisi Indonesia (bahasan), tahun 1965
  26. Ngalanglang Kasusatraan Sunda Dewasa ini (kumpulan bahasan sastra Sunda dalam bahasa Indonesia)
  27. Our Panjak (kumpulan bahasan dalam basa Sunda)
  28. Khasanah Cerpen Indonesia (antologi)
  29. Beberapa Masalah Umat Islam di Indonesia, tahun 1970
  30. Eunteung tina Tareh Islam, tahun 1970
  31. Sajak-sajak Anak matahari, tahun 1979
  32. Syafruddin Prawiranegara Lebih Tahut kepada Allah, tahun 1986
  33. Islam Sebagai Pedoman Hidup (Editor, kumpulan karya Syafruddin Prawiranegara)
  34. H. Hasan Mustapa Jeung karya-karyana
  35. dan lain-lain

You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *